JAYAPURA, REPORTASEPAPUA.COM – Rasisme dan diskriminasi yang dilakukan oleh sekelompok Ormas dan TNI/Polri terhadap mahasiswa Papua di Kota Malang, Surabaya dan Semarang, beberapa hari lalu, tampaknya membuat Ketua DPR Papua, DR. Yunus Wonda, SH MH geram dan kecewa terhadap negara ini.
“Terkait insiden di Malang dan Surabaya, kami lihat anak-anak mahasiswa Papua diperlakukan tak perikemanusiaan. Mereka pergi demo damai, tapi dalam perjalanan mereka dihadang Ormas hingga terjadi pelemparan, pemukulan terhadap mahasiswa Papua,” kata Yunus Wonda kepada sejumlah Wartawan di ruang kerjanya, Senin (19/8/19).
Menurutnya, peristiwa itu merupakan spontanitas untuk melakukan aksi unjuk rasa, namun ditanggapi berlebihan oleh ormas di Malang.
Bahkan, dirinya sangat menyayangkan statement Wakil Wali Kota Malang yang akan memulangkan mahasiswa Papua.
“Apapun keadaannya dan kondisinya, anak-anak Papua yang hari ini ada di Malang, mereka adalah bagian dari negara ini. Mereka anak-anak Indonesia yang ikut pendidikan di sana. Mestinya, sebagai Wakil Wali Kota Malang datang dan memberikan ketenangan, bukan malah mengusir mereka. Anak-anak Papua ini begitu hadir pemimpin daerah, mereka pasti akan dengar, tapi ini sangat disayangkan justru statementnya mengusir keluar,” ujar Yunus Wonda dengan nada kesal.
Padahal menurutnya, di tanah ini, orang Papua menerima berbagai suku bangsa, termasuk orang Malang dan Surabaya. Dan tidak pernah membedakan suku, karena semua ciptaan Tuhan yang sempurna.
Menurut Pokitikus Demokrat itu, insiden terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, terjadi akumulasi terhadap kejadian rasisme terhadap mahasiswa Papua hingga berdampak di Papua.
“Jadi sebenarnya ini akumulasi kekecewaan masyarakat Papua yang selalu dianggap monyet, babi. Ini kan rasisme yang luar biasa. Ada dimana aparat kita? Ada dimana negara ini untuk melindungi anak-anak Papua,” tandas Yunus Wonda
“Sebab, rasisme yang menimpa anak-anak Papua selalu terjadi, termasuk ketika Persipura Jayapura main di kandang lawan, selalu ada teriakan rasisme. Tuhan ciptakan kami bukan monyet, tapi Tuhan ciptakan kami sebagai manusia utuh, yang sama dengan saudara-saudara kami di provinsi lain di Indonesia,” tegasnya.
Namun kata Yunus Wonda, jika hal itu terus disematkan kepada anak-anak Papua, maka itu akan membuat kekecewaan yang selama ini terpendam akan muncul. Sehingga hal ini yang harus dijaga.
“Kami minta kepada Presiden, jangan dianggap ini suatu hal yang biasa. Presiden harus ambil alih persoalan ini. Ini bukan hal yang biasa. Ini akan terjadi polemik yang luar biasa,” tekannya.
Dikatakan, jika anak-anak Papua mau melakukan aksi unjuk rasa, agar dibiarkan saja karena negara demokrasi, tidak boleh dihalangi dan dihadang, sebab akan muncul amarah.
“Jadi, kalau anak-anak Papua mau demo, kasih kesempatan luapkan aspirasi mereka, daripada merka ribut dijalan-jalan. Jika mereka mau ke DPR Papua, MRP atau Gubernur, silahkan saja tapi tetap dijaga dan dikawal. Yang penting tidak merusak kiri kanan. Saya harap juga Kapolda dan Pangdam mengijinkan jika mereka demo, karena disini tempatnya mereka sampaikan aspirasi,” ungkapnya.
Dari insiden itu, Yunus Wonda meminta masyarakat Papua untuk tetap tenang dan bersabar, tidak boleh melakukan hal-hal yang mengarah kepada anarkis dan diserahkan kepada aparat keamanan.
“Belajarlah ke orang Papua ini, yang bisa menerima semua suku bangsa yang ada di sini. Dan tidak pernah kami adakan perbedaan-perbedaan. Jadi, jika orang bicara Pancasila, itu hanya berlaku di Jawa, tidak ada dan omong kosong. Orang tidak ada peri kemanusiaan dan peri keadilan,” tegasnya.
Terkait rencana Gubernur Papua untuk membentuk Tim Gabungan melibatkan DPR Papua, MRP, Pangdam dan Kapolda serta wartawan yang akan diturunkan ke Malang, Surabaya dan Semarang, Yunus Wonda mengaku jika itu akan dirapatkan dengan gubernur.
“Ini persoalan kedua, setelah Jogja. Jika anak-anak kita salah, ya silahkan diproses hukum. Tidak ada harus dicap mereka monyet. Bayangkan, mereka di Surabaya dikepung seperti teroris,” imbuhnya.
Pada kesempatan itu, Yunus Wonda meminta, semua orang Papua untuk tetap menahan diri.
“Jadi biarkan proses itu berjalan. Kami mau lihat kepolisian, apakah mereka mampu menangkap orang-orang yang menyampaikan kalimat-kalimat seperti itu. Itu harus ada efek jera bagi mereka, karena bukan sekali saja, berkali-kali dialami anak-anak Papua,” tutupnya. (Tiara)