JAYAPURA, Meski sudah empat tahun telah masuk Rancangan Undang-Undang Sistem Pemerintahan Otonomi Khusus Provinsi Papua atau dikenal RUU Otsus Plus dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, namun DPR Papua pesimis itu akan dibahas oleh DPR RI periode 2019 – 2024 yang baru dilantik.
Bahkan, Anggota Komisi I DPR Papua, Alberth Bolang, SH menilai jika tidak ada keseriusan pemerintah pusat terkait follow up RUU Otsus Papua setelah ditetapkan masuk Prolegnas Prioritas oleh DPR RI pada tahun 2014.
“Semestinya, tahun 2015 – 2019 kalau itu sudah masuk dalam prolegnas prioritas selama 4 tahun, draf RUU Otsus Plus itu harus diundangkan. Jika itu tidak diundangkan, berarti tidak ada keseriusan dari pemerintah pusat dalam memperhatikan Papua,” kata Albert Bolang, Senin (7/10/19).
Padahal, ungkapnya, jika landasan yuridis untuk pergerakan sistem pemerintahan di Papua itu dilandaskan pada sebuah undang-undang atau regulasi yang ada. Jika RUU Otsus Plus itu tidak dibahas, mau tidak mau menggunakan UU Otsus tahun 2001.
Politikus Partai Demokrat itu mengaku
tidak terlalu berharap kepada DPR RI yang baru dilantik, termasuk adanya 10 anggota DPR RI dari Papua untuk membahas kembali RUU Otsus Plus itu.
“Kenapa? Saya pikir itu menjadi sebuah histori ketidakseriusan, DPR RI yang baru saya yakin mereka tidak mampu memberi solusi buat Papua. Sebab, apa empat tahun kemarin itu, sudah cukup waktu yang lama. Dan itu menjadi dingin lagi. Adanya anggota DPR RI yang baru, saya pikir itu nanti upaya yang dilakukan akan sama dengan DPR RI periode 2014 – 2019,” ungkapnya.
Dirinya hanya berharap, jika memang pemerintah baik eksekutif, legislatif dan yudikatif di pusat, betul-betul serius melihat Papua.
Namun jika tidak serius lanjut Albert Bolang, maka RUU Otsus Plus itu tidak akan tersentuh sama sekali. Karena empat tahun itu sebuah hal yang cukup panjang untuk meletakkan dewan yang baru lima tahun ke depan ini, sehingga putus historinya.
Apalagi kata Albert Bolang, anggota DPR RI yang baru ini, akan meminta dijelaskan lagi tentang 28 sektor kementerian dan lembaga seperti apa, padahal dulu sudah djelaskan.
“Nah, sekarang siapa yang mau jelaskan di sana? Kita kan sudah cukup. Saya pikir kalau mau dibahas ya silahkan dibahas, kami sangat bersyukur kalau itu ditetapkan. Tapi, jika kemudian serahkan ke DPR RI untuk bekerja terhadap RUU Otsus Plus yang sudah masuk prolegnas prioritas itu, ya saya sangat pesimis,” tandas Bolang.,
“Saya sangat pesimis. Karena yang hangat-hangatnya saat itu, tidak bisa dibahas. Apalagi, mereka (DPR RI yang baru) terputus, karena historisnya mereka tidak tahu. Mereka mau belajar lagi tentang RUU Otsus Plus itu,” sambungnya.
Apalagi, beber Alberth Bolang, yang saat itu ditunjuk sebagai Ketua Tim RUU Otsus Plus ini, telah mensosialisasikan RUU Otsus Plus itu ke 28 kementerian/lembaga, namun masih banyak kementerian yang tidak memahami Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
“Kita mengharapkan jika RUU Otsus Plus jadi, sebelum pemerintah dalam hal ini DPR RI dan pemerintah membahas tentang undang-undang, yang dibahas paling pertama dibahas itu tentang kekhususan lima provinsi yang dipandang jadi daerah khusus, supaya tidak over lap. Artinya, mereka sudah tetapkan undang-undang tanpa memperhatikan kekhususan pada lima provinsi yakni Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua dan Papua Barat,” jelasnya.
Menurutnya, sebelum meletakkan draf UU, maka harus membahas tentang kekhususan ini, supaya tidak saling melemahkan. Sebab, yang terjadi saat ini, produk undang-undang yang dimunculkan, sama sekali tidak memperhatikan UU Otsus.
“Jadi, mengesampingkan UU Otsus terus, padahal itu spesifikasi ada Lex Specialis Derogat Lex Generalis artinya mengedepankan dulu yang khusus, baru membahas yang umum,” tekannya.
“Nah, bagaimana mau membahas yang umum, yang khusus ini saja diabaikan. Jika diabaikan, maka berarti yang berlaku satu undang-undang itu tanpa membahas kekhususan Papua dan daerah lain,”ketusnya.
Dijelaskannya, pada saat penyerahan RUU Otsus Plus secara resmi kepada pemerintah pada tahun 2014, pihaknya sudah membuat schedule untuk pembahasan dengan DPR RI, karena pengusulnya adalah dari Pemprov Papua dan Papua Barat, sehingga perlu menjelaskan item per item dari naskah akademik, landasan yuridis dan isi pasal dan ayat serta historis dari RUU Otsus Plus itu ke DPR RI.
Selanjutnya sambung Albert Bolang, itu tugas dari DPR RI, karena Pemprov Papua menggunakan haknya pada pasal 77 UU Otsus, untuk mengusulkan RUU Otsus Plus itu menjadi bagian dari prakarsa pemerintah.
Mestinya ungkap Alberth Bolang, yang harus membahas itu adalah DPR RI dan pemerintah dalam hal ini Presiden dan 28 sektor kementerian dan lembaga, karena RUU Otsus Plus itu meliputi berbagai sektor.
“Misalnya, sistem pemerintahan itu dari Kementerian Dalam Negeri, dalam kewenangan provinsi apa saja, kemudian pertambangan diberikan kewenangan kekhususan untuk Papua seperti apa? Termasuk di sektor kehutanan dan perikanan serta lainnya. Jadi, ada 28 sektor kementerina dan lembaga yang mestinya harus terlibat membahas, karena itu bagian dari prakarsa pemerintah yang mereka mengawal itu ke DPR RI,” terangnya.
Apalagi, kata Alberth Bolang, saat penyerahan RUU Otsus Plus ke DPR RI pada tahun 2014 itu, sudah ditetapkan menjadi Prolegnas Prioritas.
“Jadi UU Otsus ini kami anggap sudah tidak relevan lagi, karena sebenarnya RUU Otsus Plus itu untuk mengejar ketertinggalan Papua dan Papua Barat, untuk bagaimana kemudian di tahun 2020 – 2021, Papua dan provinsi lain sudah sejajar,” paparnya.
Dikatakan, seharusnya pada saat dievaluasi di tahun akhir UU Otsus, kesejajarannya harus terlihat, namun justru sekarang ini kan diakhir tahun 2019 terjadi begitu banyak gap, malah memunculkan isu-isu yang betul-betul membuat semacam garis pemisah antara provinsi yang mestinya mendapat prioritas atau kekhususan, tapi kemudian pembangunannya begitu timpang.
Menurut Albert Bolang, sebenarnya konflik yang muncul ini, sebenarnya akibat tidak ketidakadilan negara kepada rakyat, tidak melakukan sebuah sistem keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, berarti Papua masuk di dalamnya.
Apalagi kata dia, dengan banyaknya ketimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua itu, makanya Pemprov Papua dan Papua Barat bersama DPR Papua dan Papua Barat serta MRP dan MRPB mendorong RUU Otsus Plus untuk mengejar ketertinggalan Papua.
Alberth Bolang menuturkan, banyak hal yang dalam kebijakan UU Otsus itu, masih sumir atau masih kabur pelaksanaannya. Contohnya, soal kewenangan dan kebijakan – kebijakan yang hanya mentok di provinsi saja, tidak terus sampai ke kabupaten, sehingga kabupaten dalam melihat sistem pemerintahan di Papua itu, akan lebih cenderung ke pemerintahan Otonomi Daerah atau UU Nomor 23, namun tidak patuh terhadap UU Otsus.
Sebab lanjutnya, Pemerintah provinsi kurang begitu mendapatkan kewenangan, sehingga cantolan yang paling mudah adalah UU Pemerintahan Daerah. Sehingga muncul prakarsa dari Gubernur Papua, Lukas Enembe waktu itu, untuk merancang RUU Otsus Plus melibatkan Uncen Jayapura, hingga didorong ke DPR RI yakni draf RUU Otsus Plus ke 13.
“Waktu itu DPR Papua, menunjuk saya sebagai ketua tim, sekaligus kita menyerahkan perbaikan draf RUU Otsus Plus ke 14 kali ke pemerintah pusat, Presiden dan DPR RI pada tahun 2014,” pungkasnya.(TIARA)