Jayapura – Keinginan sejumlah Anggota DPRP Yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan untuk adanya perubahan situasi penegakan hukum atas penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) di Papua, maka dengan menggunakan Hak Inisiatif Anggota DPRP saat ini tengah mendorong penyusunan dan pembentukan draft rancangan peraturan daerah tentang penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Anggota DPRP kursi Otsus John NR Gobai mengatakan bahwa penyusunan dan pembentukan draft Raperdasi tentang penyelesaian pelanggaran HAM ini merupakan sebuah bentuk keprihatinan atas penyelesaian sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua yang hingga saat ini belum ada penyelesaian,” Berangkat dari situlah kami dari Anggota DPRP kursi Otsus dengan Hak Inisiatif mendorong pembentukan Raperda dengan harapan kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat segera diselesaikan,”Tegas Gobai,Selasa (14/5) usai melakukan pertemuan dengan sejumlah Aktivis HAM Papua di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua.Dikatakan Gobay bahwa jika UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mendefinisikan Hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
“Pelanggaran HAM terjadi, bila hak-hak seperti yang diatur dalam DUHAM PBB dan UU No 39 Tahun 1999, yang melekat pada diri manusia tidak dihargai, dilanggar atau dicabut/tidak diakui. Jadi, pelanggaran HAM berbeda dengan tindak kriminal biasa atau perbuatan melawan hukum pidana,” Bebernya. Bahkan lanjut Gobai bahwa pada tahun 2000 melalui amandemen kedua UUD 1945 dalam Bab XA tentang HAM dimasukan sejumlah hak yang pada dasarnya diambil dari instrument hukum HAM internasional baik dari Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) maupun dari Konvenan Internasioanal tentang Hak hak sipil dan politik dan Konvenan internasional tentang hak hak ekonomi, social dan budaya. “Dalam kajian HAM, kategorisasi kelompok Hak Sipil Politik dan Ekosob, harus dipandang saling terkait dan tak terbagi (indivisibility), sehingga tidak menjadikan salah satu kelompok hak menjadi lebih penting, dibandingkan yang lain. Untuk itu dalam memandang kedua hak tersebut, haruslah diperhatikan mengenai peran negara dalam HAM, agar masyarakat dapat memperoleh hak asasi sesuai dengan Deklarasi Umum HAM dan Konvenan lainnya.” Ungkapnya.
Dan ironinya lanjut Gobai,dalam pelaksanaan selama ini tidak dapat berjalan secara baik karena sejak ditetapkannya UU Otonomi Khusus Papua, Pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesuai Pasal 45 Ayat 2 UU No 21 Tahun 2001. Hal ini juga terjadi karena dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum diatur tentang Pembentukan Pengadilan HAM,” Padahal salah satu tempatnya harus di Papua sesuai dengan UU No 21 Tahun 2001, dan berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 45 Ayat 1, UU No 26 Tahun 2000, frasa “untuk pertama kali” menunjukan bahwa pembentukan Pengadilan HAM bukan bersifat statis tetapi fleksible sehingga dengan adanya UU yang dibentuk kemudian seperti UU No 21 Tahun 2001 maka dapat dibentuk lagi ditempat yang lain dalam hal ini di Jayapura untuk Provinsi Papua.” Tambahnya. Untuk itu kata Gobai, pihaknya mengharapkan kepada pimpinan dan para anggota DPRP untuk mendukung pembentukan draft Peraturan Daerah ini masuk dalam Program Legislasi Daerah 2019. “Selama ini banyak tim yang dibentuk Pemerintah Indonesia, namun tidak ada hasilnya,” ujar John NR Gobai.
Sementara itu Anggota DPRP dari 14 kursi pengangkatan, Timotius Wakur menyatakan, selama ini para anggota DPRP selalu mengecam berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Akan tetapi, DPRP tidak kunjung menyusun aturan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, sehingga kasus pelanggaran HAM baru terus terjadi di Papua. Wakur mencontohkan kasus pembunuhan belasan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018 lalu berlanjut dengan upaya aparat keamanan mengejar para pelaku. Pengejaran itu membuat ribuan penduduk Kabupaten Nduga mengungsi, karena takut terjebak dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. “Semua anggota DPRP menolak pelanggaran HAM di Papua. Akan tetapi, DPRP tidak pernah mau mendorong dibuatnya aturan hukum yang menjadi dasar penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua. Itulah mengapa 14 anggota DPRP dari kursi pengangkatan menggunakan hak inisiatif kami untuk mendorong draf rancangan peraturan daerah itu,” Pungkasnya (AW/Tim Humas DPRP)