Jayapura, reportasepapua.com – Anggota Komisi II DPR Papua, John NR Gobai menilai negara hanya menganakemaskan Hak Pengusaha Hutan (HPH) dari pada stokhlder yang lain.
Hal itu terungkap saat legislator Papua ini menjadi saksi meringankan dalam kasus penahanan ratusan kontainer kayu ilegal di Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Surabaya yang dilakukan Tim Ditjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjerat 3 pengusaha Papua.
Bahkan, ia sempat dimintai keterangan oleh dua penyidik PPNS Ditjen Gakkum Gakkum Kementerian LHK di Gedung Manggala Wana Bhakti Jakarta, selama dua jam lebih.
“Saya diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi meringankan terhadap tiga orang pengusaha asal Papua yang menjadi tersangka. Mereka dituduh mengedarkan kayu dari hasil pembalakan liar,” kata John Gobai kepada Wartawan di Jayapura, Selasa (2/4/19).
Dalam memberikan keterangan itu, John Gobai mengaku 21 Januari 2019 menerima pengaduan masyarakat dan pengusaha kayu lokal mitra masyarakat dalam penjualan kayu. Ia mendapatkan keterangan dari mereka, kayu yang dijual ketiga pengusaha ditetapkan tersangka oleh PPNS Ditjen Gakkum KLHK, merupakan kayu yang dijual masyarakat sesuai UU 41 Tahun 1999 itu adalah hasil pembalakan liar.
“Namun, saya memandangnya lain. Kenapa saya hadir memberikan keterangan yang meringankan? Karena yang dimaksud mereka pembalakan liar, itu sebenarnya dilakukan masyarakat Papua, mereka menebang kayu di hutan mereka, hutan adat mereka sendiri. Bahwa pengakuan hutan adat itu, harus melalui perda sesuai Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016, itu soal lain. Tapi, hutan itu telah ada bersama mereka sejak leluhur,” jelasnya.
Namun ia pun menyampaikan kepada penyidik, jika menggunakan standar yuridis dalam melihat masalah kehutanan di Papua, akan selalu berbenturan. Sebab, mereka tidak bisa dikatakan pelaku pembalakan liar, karena mereka melakukan di kampung halamannya.
“Mereka perlu uang, sehingga mereka jual kepada pelaku usaha ini, kemudian diolah untuk dijual keluar Papua. Jika mereka disebut ilegal, lalu kenapa lolos di Pelabuhan Jayapura. Jadi, saya anggap dokumen mereka legal,” ujar Gobai.
Saat ditanya persoalan kehutanan di Papua oleh penyidik, John Gobai menegaskan, bahwa persoalan di Papua ada dua pihak yang harus bertanggungjawab, karena mereka lalai melakukan tufoksinya.
Pertama, lanjut Jhon Gobai, yang lalai adalah KLHK karena sampai saat ini, mereka belum menerbitkan NSPK terhadap Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan di Papua. Sebab, dengan adanya Perdasus ini, masyarakat dapat mengakses perizinan agar kayunya legal menurut undang-undang.
Yang lalai kedua adalah Pemprov Papua, sebab kata John Gobai, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2004 itu pengelolaan kehutanan, industri dibawah 6000 m3, itu kewenangannya provinsi.
“Artinya, kalau industri dari ketiga tersangka ini mempunyai produksi dibawah 6.000 m3 pertahun, maka mereka harusnya diberikan izin oleh Dinas Kehutanan Papua,” terangnya.
Dikatakan, dengan adanya Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, itu ada beberapa pilihan skema dalam rangka memberikan ruang kelola kepada masyarakat adat, diantaranya hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.
Misalnya, kemitraan kehutanan ini skemanya mereka dapat bekerjasama dengan HPH untuk mereka dapat ruang mengelola pada areal HPH itu.
“Saya lihat ini belum jalan dan belum dilaksanakan, karena menurut Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016, jika Pemprov telah membuat Pergub memasukan perhutanan sosial dalam RPJMD, maka Menteri dapat mendelegasikan kepada gubernur untuk mengeluarkan perizinan. Nah, ini belum ditindaklanjuti dalam rangka memberi ruang kelola, provinsi hanya menunggu terus NSPK. Ini jadi masalah, padahal tidak ada respon dari KLHK. Mestinya dia bisa ambil langkah ini,” paparnya.
Ditambahkan, ketiga pengusaha Papua yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pembalakan liar oleh Ditjen Gakkum Kementerian LHK, korban ketidakadilan.
“Jadi saya kasih tahu kepada penyidik, mereka ini adalah korban ketidakadilan dimana negara menganakemaskan HPH namun menganaktirikan stakeholder lain, padahal selama ini HPH tidak mensuport pembangunan di Papua,” bebernya.(tiara)