Jayapura – Mencermati Hasil pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 17 April 2019 dimana keterwakilan orang asli Papua yang duduk di lembaga DPRD kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat sangat minim seperti di Kota Jayapura dari total 40 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 13 orang, Kabupaten Jayapura dari 25 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 7 orang, Kabupaten Sarmi, dari 20 kursi DPRD hanya 7 orang asli Papua, di Kabupaten Boven Digoel dari 20 kursi DPRD hanya 4 orang asli Papua, di Kabupaten Merauke dari 30 kursi, orang asli Papua hanya 3 orang, di Kabupaten Keerom dari 23 kursi DPPRD orang asli Papua hanya 7 orang, Sementara di Papua Barat, dari 20 kursi DPRD Kabupaten Sorong keterwakilan orang asli Papua hanya 3 orang, di Kabupaten Fakfak dari 20 kursi DPRD orang asli Papua hanya 8 orang, di Kabupaten Raja Ampat dari 20 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 9 orang, di Kota Sorong dari 30 kursi DPRD orang asli Papua hanya 6 orang dan di Kabupaten Teluk Wondama dari 25 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 11 orang.
Ketua DPR Papua demisioner, Dr.Yunus Wonda,SH.,MH mengatakan bahwa dengan melihat hasil Pemilu Legislatif Tahun 2019 dirinya khawatir saat Pemilu Legislatif 2024 atau lima tahun mendatang tidak ada lagi keterwakilan OAP dilembaga DPRD kabupaten/kota,“Saya prediksi dengan kondisi ini, keterwakilan OAP pada periode berikut di DPRD kabuaten/kota sudah tidak ada lagi. Anggota DPRD sudah tidak dihuni orang asli Papua,” kata Yunus Wonda saat menghubungi sumber Humas DPRP, Selasa (5/11/2019).
Politikus Demokrat Papua ini khawatir, jika kondisi itu terjadi berdampak pada munculnya kecemburuan akibat kesenjangan, dan menyebabkan terjadinya konflik,“Kita semua tidak sadar. Kalau jabatan kepala dinas dan lainnya kita beri ruang kepada siapa pun. Namun namanya jabatan politik, tidak boleh,” ujarnya.
Terakhir dengan Hasil Pemilu Legislatif 2019 lalu, Wonda mempertanyakan peran para bupati/wali kota di Papua pada saat pemilihan legislatif April 2019, sehingga tidak memikirkan bagaimana agar orang asli Papua dapat menjadi mayoritas dalam parlemen setempat,“Ini membuktikan kita tak mampu mempertahankan identitas kita. Bukan karena dia seorang ketua atau tokoh partai politik, sehingga mesti mengutamakan partainya. Seorang tokoh politik harus melihat secara luas bagaimana identitas orang asli Papua tetap ada di tanahnya sendiri,” ujarnya.
Untuk itu Lanjut Wonda, pihaknya meminta para bupati di Papua merenungkan berbagai hal terlebih dahulu sebelum bicara pembentukan provinsi. Katanya, jangan hanya mengejar kepentingan tertentu, sehingga tidak melihat jika orang asli Papua semakin tersingkir di tanahnya sendiri,“Ini juga berkaitan dengan Perdasus rekrutmen politik yang sudah kami bawa ke Kemendagri namun tidak direspons. Ini dampaknya. Ini tanda pemerintah pusat ikut ingin melenyapkan orang asli Papua di tanahnya sendiri,” ucapnya.
Hal senada dikatakan Anggota DPR Papua, Emus Gwijangge. Menurut Gwijangge, semua para pengambil kebijakan di Papua mesti memikirkan kondisi ini, agar tidak menyebabkan terjadinya dinamika yang tak diinginkan kemudian hari,“Kami di DPR Papua pada periode lalu juga telah mengesahkan Raperdasus parpol lokal dan rekrutmen politik partai politik nasional di Papua terhadap orang asli Papua. Akan tetapi hingga kini perdasus itu masih terhambat di Kemendagri,” kata Emus Gwijangge. Menurutnya, pihaknya belum mendapat jawaban pasti dari Kemendagri penyebab sejumlah Raperdasus yang dikonsultasilkan DPR Papua sejak beberapa tahun lalu belum diregistrasi,” Ini soal dan menjadi PR Anggota DPRP periode 2019-2024 kedepan,” Pungkasnya (AW/Tim Humas DPRP)