Jayapura, dpr-papua.go.id – Kebijakan Pemerintah dan PT.Freeport Indonesia menetapkan pembangunan Smelter atau pabrik pemurnian dan pengolahan tambang mineral PT.Freeport Indonesia di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur pada Selasa (12/10/2021) mendapat perhatian serius dari Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua.
Ketua Kelompok Khusus DPR Papua Jhon NR Gobay mengatakan bahwa pembangunan Smelter atau pabrik pemurnian tembaga/emas PT.Freeport Indonesia harus dibangun di Papua mengingat sesuai dengan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien dan kompetitif,“Sesuai Pasal 39 UU No.21 tahun 2001 harusnya smelter dibangun di Papua,” kata Jhon Gobai kepada Humas DPRP,belum lama ini.
Dikatakan Gobay bahwa dalam penjelasan pasal 43 ayat 4 UU Otsus, surat izin perolehan dan pemberian hak, diterbitkan sesudah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah dengan masyarakat adat. Dengan perkataan lain, lanjut Gobay, masyarakat dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan tanah termasuk sumber daya alamnya.
Dikatakan, berdasarkan regulasi itu, maka pemilik tanah dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dalam skala besar seperti PT Freeport Indonesia, masyarakat harus terlibat aktif dalam perundingan atau musyawarah untuk mendengar sikap masyarakat apakah menerima atau menolak, menerima dengan catatan atau menolak dengan alasan,“Jika diterima, maka bentuk kompensasi yang dapat dibicarakan atau dirundingkan adalah; bentuk-bentuk manfaat yang diberikan dapat berupa: pajak (diberikan pada PEMDA), royalty (diberikan kepada masyarakat adat yang terkait), sewa tanah (diberikan kepada masyarakat adat sekitar dan masyarakat yang terkena dampak),”Bebernya.
Lebih jauh dikatakan Gobay,kompensasi bagi masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak itu, bagaimana terkait dengan kerusakan lingkungan yang terjadi, bagaimana bentuk pengamanan yang harus dilakukan sebagai hasil dari evaluasi dari pengamanan yang dilakukan selama ini,“Jika Pemerintah melaksanakan amanat UU Otsu situ, tentu masyarakat Kamoro diajak bicara tentang rencana pembangunan Smelter itu. Jika tidak terjadi maka ruang ini terbuka bagi pihak – pihak yang punya kepentingan dapat saja atau diduga masuk ke pihak Komoro untuk ikut menggagalkan niat Pemprov Papua untuk mendorong Smelter di Papua,” Ujarnya. Dengan pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur, kata Gobay, membuat masyarakat Papua protes, karena harus dibuka ruang dan melibatkan masyarakat adat di Mimika khususnya Suku Amungme dan Komoro yang tanahnya akan digunakan untuk membangun Smelter karena ini sesuai amanat Otsus Pasal 43 UU Nomor 21 tahun 2001,“Jangan UU otsus diperlemah oleh Pemerintah sendiri hargailah pengaturan Pasal 39 UU No 21 tahun 2001 sebagai UU yang Lex Specialis Systematic, karena Smelter dibangun didalam Negeri yang dimaksud dalam Negeri oleh UU Sektoral haruslah dimaknai di Papua, karena memang diatur dalam UU yang berstatus khusus di Indonesia,” tegasnya.
Ditambahkan Gobay, Rencana pembangunan smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang) oleh PT Freeport Indonesia. Smelter itu, rencananya akan dibangun di wilayah adat suku Kamoro yang terletak di pesisir Mimika, Papua. Namun, belakangan ini, masyarakat ada Kamoro menolak. Bahkan, Aktivis Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro, John Nakiaya menyatakan, pemerintah dan pihak perusahaan tidak pernah sekalipun melakukan sosialisasi terkait rencana tersebut. Karenanya, masyarakat adat Kamoro merasa tidak dilibatkan dan disingkirkan. John mengatakan masyarakat adat Kamoro masih merasakan trauma akibat kerusakan lingkungan yang timbul akibat tailing (limbah tambang) PT Freeport selama puluhan tahun.Namun demikian, Jhon Gobay menilai jika pembangunan Smelter Freeport di Gresik itu, sudah lama ada. Bahkan, Smelter ini kerjasama Freeport dengan Mitsubishi Jepang sehingga pembangunan yang sekarang adalah hanyalah penambahan. Sehingga dirinya menilai, jika dibangun di Papua maka mungkin bagi Freeport kurang efisien karena harus mengeluarkan dana yang sangat besar, sehingga bagi Freeport ini merugikan mereka, karena itu pilihannya adalah bangun di gresik. Apalagi PLTA Urumuka yang diharapkan belum terbangun yang direncanakan menyuplai Listrik belum terbangun,”Di samping itu juga tentunya pembangunan Smelter di Gresik tentu membuka peluang bisnis angkutan bahan tambang dari Timika ke Gresik, tentu ini ada oknum yang punya kepentingan bisnis akan bermain disini agar tercipta sebuah usaha baru.Termasuk pengadaan tenaga kerja ini juga merupakan sebuah peluang usaha bagi orang tertentu. Padahal, Freeport masih punya masalah terkait 8.300 karyawan yang nasibnya terkatung katung sampai hari ini,” Tutupnya(AW/Tim Humas DPRP)