Jayapura – Menyikapi proses pembentukan RUU Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang digagas Kementerian Dalam Negeri RI dan saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu RUU Prioritas pada Prolegnas Tahun 2020.
Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw, SE mengatakan bahwa dalam rangka menyikapi hal itu DPRP telah membentuk Panitia Khusus Otonomi Khusus,” Kami di DPRP sudah bentuk Pansus, untuk itu kami minta Pansus segera bekerja dan Pansus akan membuka kesempatan untuk semua stakeholder menyampaikan pikirannya. Itu yang paling utama,” Tegas Banua kepada sumber Humas DPRP, Senin, (29/06/2020)Bahkan, lanjut Banua Rouw bahwa RUU perubahan Otsus itu tentu saja bukan keinginan pemerintah pusat, provinsi atau yang lain tetapi ini untuk menjawab kebutuhan maayarakat,“Bukan maunya pemerintah pusat, bukan maunya pemerintah provinsi, bukan maunya kepala suku, tapi ini memang menjadi kebutuhan masyarakat kita, sehingga DPR Papua sudah membentuk Pansus Otsus,” ucapnya
Politisi Partai Nasdem ini mengatakan, mestinya DPR Papua sudah bentuk Pansus Otsus dari Maret 2020, namun karena ada Covid-19, mengakibatkan terganggu sehingga Pansus Otsus akan segera mulai kerja. Yang jelas, lanjut Jhony Banua Rouw, revisi UU Otsus atau perpanjangan Otsus itu, harus betul-betul melihat dan menjawab kebutuhan masyarakat Papua.
Untuk itu, kata Jhony Banua Rouw, Pansus Otsus DPR Papua akan membuka kesempatan untuk semua masyarakat untuk mengirim aspirasi mereka untuk mencari payung hukum yang bisa menjawab dan menjadi regulasi untuk tujuan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua.
Jhony Banua Rouw mencontohkan untuk bidang kesehatan, harus jelas peruntukannya. “Contohnya begini, dibilang kasih dana untuk kesehatan, untuk apa kesehatan ini? Khan harus jelas, apakah dikasih uang oleh pusat, terus selesai? Padahal kewenangan puskesmas itu ada dimana? Ranah pusat ikut terlibat. Nah, ini harus sinkron itu. Apakah kita bisa mengatur hingga sampai tingkat itu, nah ini harus dibicarakan,” tandasnya.
Begitu juga bidang pendidikan, Jhony Banua Rouw mencontohkan dimana untuk pendidikan tinggi atau mahasiswa, Pemprov Papua tidak bisa masuk ke ranah itu, lantaran menjadi ranah pemerintah pusat atau Dikti,”Apa yang mau dibuat oleh pusat di tingkat pendidikan itu, apa yang mau akan dibuat universitas, apa yang mau dibuat oleh provinsi ditingkat SLTA, apa yang dibuat kabupaten/kota, harus jelas,” ujarnya.
“Meski Papua memiliki kampus Uncen, namun kita tidak bisa membiayai Uncen. Kan sayang sekali. Hari ini Uncen tidak bisa menerima adek-adek mahasiswa banyak, kenapa? Karena keterbatasan gedung, kami provinsi tidak boleh bangun gedung di sana. Ini contoh – contoh kecil,” sambungnya.
Soal ketua DPR Papua harus OAP? Jhony Banua Rouw menegaskan, jika memang itu keputusan, tentu pihaknya akan menghormatinya,“Kalau ini memang keputusan, kenapa tidak? Tapi mari bikinlah mekanisme dengan baik dan benar. Dan, harus punya definisi yang tepat OAP yang mana. Itu juga pertanyaan berikutnya,” katanya.
Bahkan Jhony Banua Rouw memberikan ilustrasi soal definisi OAP tersebut. “Nah, pertanyaannya apakah yang bapaknya Papua, mamanya bukan OAP, maka itu anaknya menjadi OAP? Ataukah tetenya OAP, terus bapak dan mamanya bukan OAP? Tetenya OAP, anaknya perempuan kawin dengan bukan OAP, cucunya OAP atau bukan OAP? Mari kita jawab sama-sama,” paparnya.
Jika hal itu bukan OAP, kata Jhony Banua, pihaknya tidak mempermasalahkannya, namun harus ada regulasi yang jelas,”Kalau itu bukan OAP, Ok itu gak apa-apa, tapi regulasinya harus jelas, supaya tidak menuntut lebih. Tapi disisi lain apakah itu bisa dianggap sebagai OAP, kan begitu,” ujarnya.
Menurutnya, jika definisi OAP itu tidak jelas, maka bisa membuat ribut sendiri sesama anak Papua, lantaran hal itu sama saja mengadu domba sesama orang Papua. Untuk itu, Jhony Banua berharap agar Undang-Undang ini harus diperuntukan melindungi dan membangun Papua, namun jika hal ini tidak jelas, tentu akan menimbulkan perpecahan dan konflik horisontal.
Apalagi, kata Jhony Banua Rouw, di adat Papua juga banyak perempuan diakui, sehingga soal OAP itu harus ada definisi yang jelas,“Kalau kita bilang tidak mengakui perempuan, pertanyaan kami kenapa di MRP ada utusan atau keterwakilan perempuan? Itu artinya orang Papua mengakui keberadaan perempuan. Iya kan. Otsus itu mengakui keberadaan perempuan. Terus keturunannya tidak diakui sebagai OAP? Nah, ini kan harus kita jujur. Jujur dalam arti, jangan sampai ini menjadi masalah kita dikemudian hari. Harus ada definisi yang jelas. Makanya harus ada definisi dengan jelas,” jelasnya.
Ditambahkan, jika Ketua DPR Papua harus OAP, itu aturan maka harus hormati itu. “Kita taat pada aturan itu. Tapi jika tidak ada aturan, ya tidak boleh dipaksakan. Semua kembali ke landasan hukum,” pungkasnya. (AW/Tim Humas DPRP)