Jayapura, Pengadilan Negeri (PN) Nabire diminta agar membatalkan rencana eksekusi tanah adat milik suku Wate yang terletak eks pasar Buton dekat BRI Kabupaten Nabire. Pasalnya tanah tersebut sudah diserahkan kepada mama Waum, namun dicaplok oleh bapak Andreas Soenarto, yang tanpa konfirmasi kemudian menjual tanah adat itu ke ibu Liong.
Menanggapi hal itu, legislator asal Kabupaten Nabire, John NR Gobai melakukan pertemuan tertutup dengan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional Provinsi Papua, Arius Yambe, S.H., M.MT.td, guna membahas masalah tersebut.
“Dalam pertemuan itu saya mengatakan bahwa terkait dengan tanah mama Waum, BPN Provinsi Papua akan segera mengirimkan timnya untuk ke Nabire, dengan membawa bukti-bukti surat yang sudah kami serahkan,” kata John NR Gobay dalam pesan singkatnya kepada Reportase Papua, Kamis(2/5/19), semalam.
Apalagi tandas Gobay, tanah Papua ini adalah tanah adat, sehingga tidak bisa serta merta melangkahi adat, harus menghormati adat.
Dijelaskannya, tanah yang sedang sengketa di Nabire adalah tanah bekas Pasar Buton dekat BRI Nabire, yang merupakan tanah adat suku Wate yang sudah diserahkan kepada keluarga Waum.
“Jadi pada tahun 1977-1978, Soenarto mencaplok tanah itu dari bapak Waum lalu membuat Sertifikat tanpa prosedur yang tidak benar. Patut diduga beberapa tanahnya juga dicaplok dengan cara yang tidak benar,” ketusnya.
Dikatakan, dalam pasal 6 ayat (2) Perkaban No. 3 Tahun 2011 menegaskan bahwa Cacat hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertipikat pengganti, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas.
“Tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah, kesalahan subyek atau obyek hak dan kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Dimana dalam Pasal 64 Perkaban No. 3 Tahun 2011 mengatur pula bahwa permohonan atau usulan perbuatan hukum administrasi pertanahan terhadap sertipikat hak atas tanah yang cacat hukum administrasi itu dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau pemohon atau kuasanya,” paparnya.
Bahkan, John Gobay menilai, tanah yang menjadi obyek sengketa antara mama Waum dan Ibu Liong sudah cacat lantaran sertifikat yang dipegang oleh bapak Andreas Soenarto cacat administrasi karena sertifikat tersebut bukan ditandatangani oleh Kepala BPN tetapi oleh Kepala Seksi.
Yang kedua lanjut Gobay, sesuai UU No 21 Tahun 2001 dan Perdasus No 23 Tahun 2008, pelepasan yang dimiliki ibu Lion berasal dari Badan Musyawarah Adat (BMA) Nabire, adalah keliru karena tanah adat ini bukan dimiliki oleh Badan Musyawarah Adat Nabire, tetapi Suku Wate yang wadahnya adalah Badan Musyawarah Adat atau BMA suku Wate.
“Jadi disini perlu kami sampaikan bahwa penerbitan sertifikat pertama adalah cacat administrasi, sehingga BPN Papua dan BPN Nabire harus dapat mengklarafikasi dan membatalkan Sertifikat ini sesuai dengan PERKEP BPN No 11 Tahun 2016 tentang Kasus Pertanahan. Yang kedua PN Nabire harus membatalkan keputusannya dan harus mengkaji kembali Sertifikat bapak Soenarto,” tegas John Gobay.
Untuk itu kata dia, Pengadilan Nabire diminta agar tidak melakukan eksekusi atas putusan pengadilannya, karena diduga masih banyak data dan saksi yang kurang dan penerbitan sertifikatnya telah menyalahi aturan.
“Kapolda Papua, Bupati Nabire dan Kapores Nabire diminta segera untuk memediasi permasalahan ini,” pungkasnya. ( tiara ) reportasepapua.com