Biak – Wakil Ketua Komisi DPR Papua, Tan Wie Long melakukan konsultasi publik sejumlah raperdasi/raperdasus di wilayah adat Saireri, Kabupaten Biak Numfor, Rabu (7/8/19).Konsultasi publik ini, dipimpin langsung Wakil Ketua Komisi I DPRP Tan Wie Long dan dihadiri Staf Ahli Bupati Biak Numfor Octo Wanggai, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, LSM dan lainnya,berlangsung di Hotel Asana, Biak Numfor. Dalam sambutannya, Staf Ahli Bupati Biak Octo Wanggai mengapresiasi BAPEMPERDA DPRP yang melakukan konsultasi publik sejumlah raperda di Biak Numfor,“Kita harus bangga, karena Biak terlibat dalam penyusunan sejumlah raperda ini. Saya harap pemangku kepentingan di Biak memberi masukan dalam raperda ini,” kata Octo Wanggai, mewakili Bupati Biak Numfor, Hery Ario Naap.
Sementara, Wakil Ketua Komisi I DPRPTan Wie Long mengatakan jika Rancangan Perdasi dan Perdasus yang dilakukan dalam Konsultasi Publik ini, telah melalui berbagai tahapan,“Ya tentunya kami butuh masukan dan saran terutama berkaitan dengan hak dasar Orang Asli Papua (OAP) seperti pada Raperdasus 14 kursi, penyelesaian pelanggaran HAM, peradilan HAM, KKR, perlindungan buruh OAP dan bantuan hukum bagi OAP,” jelas Tan Wie Long. Saran dan masukan itu, lanjut Tan Wie Along, tentu sangat penting sebagai bahan kajian untuk memberi bobot para raperda itu, sebelum dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan. Anggota Fraksi Partai Golkar ini, sempat memaparkan singkat terkait 10 Rancangan Perdasi dan Perdasus itu, diantaranya Raperdasi Pemberian Nama Stadion Lukas Enembe, Raperdasi Pemberian Nama Jembatan Hamadi – Holtekamp, Raperdasus Keanggotaan DPR Papua yang ditetapkan melalui Mekanisme Pengangkatan.Diantaranya yakni, Raperdasus Perlindungan, Keberpihakan dan Pemberdayaan Buruh OAP, Raperdasus Penanganan Konflik Sosial di Papua, Raperdasus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Raperdasus Penyelesaian Pelanggaran HAM, Raperdasus Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Papua dan Raperdasus Perubahan Nama Bandara Sentani Jayapura. Namun ada yang menarik dari 10 raperda itu, Raperdasus Revisi Perdasus Rekrutmen Anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan atau 14 kursi dan Penyelesaian Pelanggaran HAM menjadi sorotan, lantaran banyak mendapatkan masukan.
Salah satu Tokoh Adat, Tineke Rumkabu yang juga Ketua Bersatu Untuk Kebersamaan (BUK), organisasi yang menampung semua korban pelanggaran HAM se Tanah Papua ini, misalnya memberikan masukan terhadap raperdasus penganganan konflik terutama Bab III pasal 5 ayat 3 yakni setiap orang atau kelompok di Papua dilarang dengan alasan apapun mengungkit kembali persoalan sudah terjadi beberapa tahun lalu, “Saya bingung redaksinya. Karena pengalaman masa lalu, selalu diungkit para korban sebagai rasa tidak puas dan berusaha dapat keadilan dari negara. Ini perlu diperjelas agar kami dapat mengerti, karena peristiwa masa lalu hingga kini masih ada pelanggaran HAM,” kata Tineke Rumkabu. Hanya saja kata Tineke Rumkabu, pengalaman masa lalu itu, membuat korban pelanggaran HAM masih menuntut sampai saat ini. Apalagi, meski sampai di sidang HAM, namun pelaku tidak dihukum, tapi malah diberi jabatan,”Para korban terus menuntut keadilan. Namun, kami merasa diikat dengan pasal 5 ayat 3. Itu terjadi pelanggaran HAM,” ucapnya. Lanjut dikatakan, Tin Rumkabu, Bahwa korban pelanggaran HAM ini, terkesan tidak diperhatikan serius oleh pemerintah, termasuk keluarga korban, misalnya dalam pendidikan maupun kesehatan.“Kami pun berharap dengan adanya raperda KKR ini berhasil,” harapnya.
Sementara Pdt Audra Prawar Kapitarauw, Tokoh Gereja juga memberi masukan dalam penyelesaian konflik sosial, dengan melibatkan agama atau gereja. Sebab, tanpa itu tidak akan selesai,“Kami sarankan penyelesaian dalam rekonsilasi bagi keluarga korban pelanggaran HAM, anak-anak mereka dibiayai oleh negara, khususnya yang punya prestasi baik dalam pendidikan, mulai pendidikan SD – PT. Sebuah rekonsiliasi tanpa gerakan nyata tidak akan selesai. Air mata dan darah, harus ada perbuatan nyata, bukan sekedar ucapan,” tandasnya.
Sementara itu, soal Raperdasus 14 Kursi, juga menjadi sorotan. Mintje Yawan, salah seorang tokoh perempuan, berharap agar perlu pasal khusus yang mengatur tupoksi 14 kursi yang ada di 5 wilayah adat, agar kerja mereka kelihatan jelas,”Itu perlu agar mereka leluasa bekerja sebagai perwakilan adat, perempuan dan agama,” tekannya.
Hal senada dikatakan Ronald Rumbino, dari pemuda adat juga menyarankan agar dewan adat masuk di Pansel, karena mereka mengerti masalah adat,”Soal persyaratan, itu harus tegas juga. Harus Orang Asli Papua, bapak ibu OAP,” tandasnya.
Bahkan juga ada masukan terkait pemberian nama Jembatan Hamadi – Holtekamp, untuk diberi nama Jembatan Jokowi. Karena, dianggap serius dan berjasa dalam pembangunan infrastruktur di Papua.
Dalam menanggapi itu, Politisi Partai Golkar itu mengaku berterima kasih dengan masukan dan saran serta koreksi yang sangat bermanfaat bagi Bapemperda DPRP,“Jadi masukan dan saran ini sangat kami terima. Inilah salah satu tujuan kami lakukan konsultasi publik,” Pungkasnya (Anderson/Tim Humas DPRP)