Jayapura, dpr-papua.go.id – Langkah Pemerintah dan DPR RI yang terus mendorong proses pembahasan RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi di Tanah Papua yang Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah dan Provinsi Papua Selatan tanpa memperhatikan aspirasi penolakan DOB dari Rakyat Papua dinilai sebagai langkah pemaksanaan, “ Bagaimana bisa rakyat Papua demo di sejumlah daerah karena menolak pemekaran atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) provinsi di Papua dan itu merupakan aksi spontan mereka belum menerima pemekaran, tetapi pemerintah dan DPR RI tetap membahas RUU Pemekaran, inikan sebuah pemaksaan. Kami lihat kesalahan dari pemerintah pusat, pertama adalah setiap ada regulasi atau perubahan yang terjadi, harus belajar dari lahirnya UU Otsus dulu. Dimana sebelum lahirnya Otsus tahun 2001 bagaimana pemerintah bekerjasama dengan Uncen bentuk tim turun ke kabupaten/kota untuk sosialisasi, meski mereka diancam dan diintimidasi, namun mereka tetap melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sehingga ada solusi sehingga rakyat bisa menerima itu,” Tegas Wakil Ketua I DPRP DR.Yunus Wonda, SH, MH kepada Humas DPRP di Jayapura, Rabu, (22/06/2022)
Dikatakan Wonda bahwa untuk pembentukan peraturan perundang-undangan baik itu UU tentunya ada tahapan yang harus dilalui salah satunya perlu ada konsultasi publik dimana rakyat diberikan ruang untuk menyampaikan saran dan pendapat,”Kondisi yang terjadi ketika bicara pemekaran provinsi di Papua,sama sekali tidak ada konsultasi public atau sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun DPR RI kepada masyarakat, namun muncul tiba – tiba bahwa akan ada pemekaran. Ini membuat rakyat Papua tidak bisa menerima itu.Di Papua itu ada manusia. Jangan dianggap bahwa di Papua itu tidak ada manusia, kebijakan seakan-akan dibuat apa yang dimau pusat. Namun, melihat hari ini, ada penolakan pemekaran dari rakyat Papua itu, harusnya menjadi salah satu ukuran yang harus menjadi perbincangan di tingkat kementerian, pusat dan DPR RI.Kenapa rakyat Papua ada penolakan, sedangkan disisi lain kami terus maju dengan pemekaran. Nah, ini harus jeda yang harus dilihat kembali. Rakyat yang mau melaksanakan saja menolak? Bagaimana kita harus memaksakan pemekaran itu, masyarakat dipaksa harus menerima. Disini kita bicara bukan terima pemekaran atau tidak terima pemekaran. Persoalan hari ini, sosialisasi yang tidak dilakukan dengan baik oleh pemerintah pusat akhirnya muncul penolakan di sana-sini, bahkan demontrasi hingga rakyat menjadi korban hingga meninggal dunia dan cucuran darah dan air mata,” Ujarnya panjang lebar
Politisi Partai Demokrat ini berharap pemerintah bisa melihat permasalahan di Papua ini. Sebab, pembahasan – pembahasan pemekaran itu sedang terjadi di pusat dan Komisi II DPR RI, namun tidak ada sedikitpun melihat bahwa ada demo – demo yang dilakukan rakyat Papua,“Bagaimana kita harus melakukan pembicaraan ditingkat lebih tinggi berbicara tentang persetujuan DOB, sementara rakyat Papua melakukan demo menolak dan nyawa jadi taruhan. Nah, ini harus jadi referensi sebelum mengambil kebijakan dan keputusan,” tandasnya.
Akibatnya, lanjut Yunus Wonda, sepertinya memang pusat memaksakan harus rakyat Papua menerima pemekaran. Kemarin, UU Otsus yang berakhir, keputusan rakyat Papua menolak, namun rakyat Papua dipaksa harus menerima. Nah, ini sama dalam masalah pemekaran provinsi di Papua yang terjadi saat ini.Padahal, ujar Yunus Wonda, UU Otsus yang berlaku saat ini, sebenarnya hanya covernya saja, tapi isinya tidak ada lagi kekhususan bagi Papua. Lebih bagus gunakan UU Nomor 23 saja, seperti provinsi lain di Indonesia. Karena, tidak ada yang spesial atau kekhususan di Papua.
Dikatakan, uang bukan ukuran untuk Papua, karena uang bagian dari alat komunikasi saja sebenarnya. Persoalan Papua itu bukan bicara uang, tapi harus dilihat dari semua aspek, terutama pemekaran ini hampir sebagian besar kabupaten/kota di Papua menolaknya dan sebagian menerima,“Ya, kita harus jujur, pertama kami lihat pemerintah pusat tidak sosialisasi. Kedua, pemerintah resmi yang ada di Provinsi Papua, baik Gubernur Papua, DPR Papua dan MRP tidak pernah dilibatkan, baik bicara Otsus maupun pemekaran ini,” tandasnya.
Padahal, kata Yunus Wonda, orang Papua yang merasakan, melihat dan mengetahu kondisi Papua, namun sama sekali tidak dilibatkan, bahkan seolah-olah lansgung diambil alih oleh pusat,“Saya pikir ini cara-cara yang kita sendiri buat regulasi, tapi kita sendiri yang melanggar atau merubah aturan yang dibuat. Pusat merubah aturan yang dibuat sendiri hari ini, termasuk pemekaran. Jadi, hari ini kalau selama ini saya dianggap orang yang cukup vokal bicara menolak pemekaran. Saya tidak bicara penolakan pemekaran, tapi saya bicara generasi orang Papua dalam 20 tahun ke depan seperti apa?,” jelasnya.
Masih menurut Yunus Wonda, jika pemekaran 3 provinsi baru di Papua, padahal jumlah orang asli Papua hanya 2,6 juta saja, maka berarti 1 provinsi nanti hanya ada 800 ribu saja orang Papua. Yunus khawatir pasti orang Papua akan punah diatas tanah mereka.
Pernyataan Mendagri bahwa pemekaran untuk sejahterakan Orang Papua, Yunus meminta berkaca pada Provinsi Papua Barat. “Saya mau tanya Papua Barat apa sudah sejahtera? Pemekaran bukan ukuran Orang Papua akan sejahtera. Kalau bicara kesejahteraan orang Papua, harus maju dan Papua harus menjadi provinsi yang aman dan nyaman, yang harus dibicarakan bagaimana Papua itu aman dulu,” tandasnya.
Namun kenyataannya, ujar Yunus Wonda, hari ini masih terjadi penembakan, masih ada pembunuhan dan masih banyak darah dan air mata orang Papua. Orang Papua masih menangis, masih ada pertumpahan darah, masih ada penembakan. Bukan saja yang korban masyarakat sipil, tapi juga anggota TNI dan Polri, pihak lain juga korban, tapi semua orang jadi korban akibat konflik ini. Bahkan, kini ada ribuan anak yatim piatu, banyak janda dan duda, bukan saja masyarakat Papua saja, tapi non Papua juga jadi korban.
Mestinya, kata Yunus Wonda, pemerintah harus fokus agar Papua aman terlebih dahulu. Jika Papua aman, baru bicara pembangunan. Mau dibuat 100 pemekaran, tapi jika Papua tidak aman, maka semua akan sia-sia,“Ciptakan kondisi di Papua aman dan nyaman dulu. Kenapa Aceh bisa aman, tapi Papua tidak bisa aman dari tahun 1960-an sampai hari ini. Dimana kehadiran negara hari ini? Kami adalah orang Papua suku yang kecil dan ras yang kecil ada di dalam negara ini. Harusnya negara memberikan proteksi dan perlindungan kepada orang Papua,” paparnya.
Untuk itu, ia behrarap pemerintah pusat harus selesaikan masalah Papua dengan menciptakan aman dan nyaman terlebih dahulu. Semua orang yang hidup diatas tanah ini harus merasa aman dan nyaman dulu, baru bicara pembangunan.Bahkan, jika Papua sudah aman, tidak perlu beberapa provinsi, tapi cukup 1 provinsi saja jika Papua aman dan nyaman, maka pembangunan dimana-mana akan kelihatan,“Tapi sekarang siapa yang melakukan pembangunan, investor tidak akan masuk ke Papua, selama Papua tidak nyaman. Hari ini harus berpikir bagaimana Papua aman dan nyaman dulu, supaya investor bisa masuk ke Papua dan pembangunan bisa dilakukan di berbagai daerah,” ujarnya.
Menurutnya, jika pemerintah pusat mau Papua maju, maka harus membuat industri-industri besar di Papua agar menyerap banyak tenaga kerja terutama orang asli Papua, karena ada ribuan anak Papua yang sudah lulus kuliah, namun menganggur diatas tanah mereka,“Kita harap smelter dibangun di Papua, namun ternyata dibangun di luar Papua, terus dimana kita mau bicara kesejahteraan orang Papua? Tidak akan pernah terjadi itu, selama Papua tidak dibangun industri-industri berskala besar agar perekonomian bisa tumbuh,” katanya.
Dikatakan, jika pemekaran terjadi agar DPR diisi anak-anak Papua, gubernur anak-anak Papua, bupati anak-anak Papua, itu tidak akan merubah Papua. Sebab, yang bisa merubah Papua adalah Orang Papua sendiri ketika perekonomian mereka terangkat.
Sementara itu, terkait sejumlah pejabat dan elit di daerah yang ke Jakarta untuk menyatakan dukungan pemekaran provinsi di Papua, Yunus Wonda tampaknya menyindir mereka.Apalagi, menurut Yunus Wonda, mereka datang ke Jakarta dengan kebohongan. Mestinya, elit politik itu, menjelaskan kondisi sesungguhnya kepada pemerintah pusat agar pusat melakukan kebijakan yang pas dan tepat di Papua,“Tapi kalau hanya mengejar jabatan, mau menjadi gubernur kalau provinsi jadi, kemudian melakukan kebohongan, itu anda sudah menghancurkan negara ini. Kita harus merubah membangun negara ini dengan kejujuran,” sindir Yunus Wonda.
Diakui, banyak elit Papua ke Jakarta melakukan penipuan luar biasa untuk menarik hati presiden, pemerintah dan DPR RI. Mestinya, pusat tidak langsung mempercayai mereka,“Coba hari ini pusat datang kunjungi kabupaten untuk melihat pembangunan, ekonomi seperti apa, padahal ekonomi di kabupaten di Papua tidak jelas dan berantakan semua. Rakyat bukan ada di provinsi, yang punya rakyat ada di bupati-bupati kabupaten/kota. Mana pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota? Tidak ada, apalagi para bupati mau mengakhiri masa jabatan, apa daerahnya tunjukkan rakyat sudah hidup sejahtera, nol besar itu,” tukasnya.
“Sudah gagal itu, kamu masih mau bicara provinsi. Urus yang kecil saja itu, kamu tidak bisa, bagaimana mau urus yang besar? Mana salah satu contoh kabupaten di Papua yang hari ini masyarakatnya sudah hidup sejahtera? Padahal, 10 tahun anda diberikan kepercayaan. Kalau hari ini ekonomi belum tumbuh di daerah itu, berarti itu kita gagal,” tandasnya. Padahal, kata Yunus, pertumbuhan ekonomi itu tidak datang dari pusat, tapi ketika negara memberikan kepercayaan untuk menjabat, maka tanggungjawab harus membuat rakyat menjadi sejahtera.Tapi kenyataannya, bisa dilihat ekonomi paling buruk di Indonesia ada di Papua. Sebab, peran kepala daerah tidak proaktif, tetapi hanya berharap pada APBD dan tidak pernah punya inovatif untuk menggali sumber daya alam sehingga bisa dijual dan menjadi PAD. Dengan PAD itu, bisa menggerakkan perputaran perekonomian di daerah,“Namun, ini tidak ada. Hari ini kita gagal di kabupaten/kota, namun kita kejar yang besar. Rakyat kita di sana masih susah dan sulit menjalani kehidupan. Ekonomi kita tidak tumbuh di sana, sehingga PAD tidak ada di 29 kabupaten/kota, mungkin hanya Kota dan Kabupaten Jayapura saja yang punya PAD besar. Tapi daerah lain tidak ada. Hari ini kita gagal di kabupaten/kota, terus kita kejar yang besar,” terangnya.
Untuk itu, Yunus Wonda mempertanyakan ukuran untuk bicara provinsi baru di Papua, namun masih berharap anggaran dari DAU, DAK dan transfer dana dari pusat terus. Itu sama saja, pembangunan akan sama seperti hari ini dan rakyat Papua akan terus berteriak,“Ini yang saya harap pusat tidak terjebak dengan hal ini, lebih bagus pemerintah pusat dan DPR RI datang melihat kabupaten/kota melihat sendiri, perubahannya sejauh mana? Apakah daerah itu sudah siap atau belum? Baik dari sisi jumlah penduduk, kapasitas fiskalnya seperti apa? jumlah SDMs eperti apa? Itu dilihat semua dulu, baru kita bicara pemekaran,” tukasnya.
“Tapi, semua hanya mengejar jabatan, tapi kita mengorbankan rakyat yang ada di Tanah ini. Masyarakat Papua pasti akan menjadi korban dengan pemekaran provinsi ini. Saya tidak bicara atas kapasitas saya untuk menolak pemekaran, tapi saya bicara nasib 10 – 20 tahun ke depan, anak-anak cucu diatas tanah ini saya bicara, bukan masalah pemekaran. Mau pemekaran jadi atau tidak, itu urusan pusat. Tapi saya bicara generasi anak-anak Papua dalam 20 tahun ke depan, apakah orang Papua akan sejahtera,” ujarnya.
Dikatakan, jika 20 tahun ke depan Orang Papua akan sejahtera, berarti misi itu berhasil, namun jika 20 tahun ke depan rakyat masih terus berteriak, maka gagal total membangun rakyat Papua.Yunus mengatakan jika berkaca pemekaran Papua Barat jika rakyatnya sudah sejahtera, maka ia akan menjadi orang pertama yang akan melakukan gerakan besar-besaran untuk menyetujui pemekaran di Papua, tidak hanya 3 pemekran provinsi, bila perlu 10 pemekaran di Tanah Papua supaya Papua lebih cepat sejahtera,“Tapi pertanyaannya dengan 3 provinsi dengan 2,6 juta penduduk, maka dalam 1 provinsi ada 800 ribu orang, kalau bisa sejahtera itu luar biasa. Tapi kalau habis, berarti kita yang gagal,” pungkasnya. (Anderson/Tim Humas DPRP)